Sabtu, 12 September 2009

Nanti


Dia adalah kentang goreng McD yang aku makan di tengah-tengah program diet ketat. Dia adalah blue suede and sandalwood premium scented candle yang sangat aku suka dan terlalu sayang untuk dibakar, dan ketika aku bakar aku menyesal. Dia adalah Ipod nano mystic greyku yang jarang aku dengar karena baterenya selalu habis, dan ketika sangat ingin mendengar lagu, ku charge lalu aku lupa. Dia adalah rol rambut elektrikku yang hampir tiap hari ku pakai dan pastinya selalu membuat rambutku rusak. Dia adalah buku The Host Stephenie Meyer yang berpakaian plastik dan tertumpuk rapi di atas belasan buku-buku yang belum sempat terbaca. Dia adalah sepatu high heels yang baru aku beli dan langsung ku pakai hingga kakiku lecet. Dia seperti Baileys yang tidak disajikan di Regal, karena kata mas-masnya ini bulan puasa.

Dia sejatinya yang aku inginkan, tapi tidak bisa/boleh/dapat aku dapatkan.

Bagaimana mungkin sesuatu yang sejati bisa muncul di hidupmu ketika kau berusia belasan? Terlalu muluk. Mengapa bisa ada orang yang mengharapkan kedewasaan dan pengabdian dari seorang anak berusia belasan? Oh, dia masih belajar. Dia masih meraba-raba. Dia masih muda, polos dan bodoh. Siapa yang tega mencoret garis kasar di hidup usia belasan? Ternyata ada. Apa yang bisa ditawarkan anak berusia belasan untuk menahan angin yang tidak pernah puas? Tidak ada.

Belasan tahun, setiap orang memiliki kuantitas dan kualitas cerita yang berbeda.

Ketika cerita itu dimulai dengan prior knowledge tentang dongeng dan impian, kenyataan tidak lah semanis apa yang dibayangkan. Rasa gelisah adalah warna bagi hari-hari si pemimpi. Bagaimana mungkin ia bisa menikmati lamunannya apabila ia selalu memiliki benang yang dijahit di kaki-tangan-tubuh-kepala dan tersambung pada sebuah balok kayu penggerak. Pinokio yang malang. Pikiran-pikirannya adalah satu-satunya jalan keluar baginya. Ia tidak dapat menyuarakannya, karena hidungnya bisa bertambah panjang. Ia tidak bisa menerjang api, karena ia bisa mati terbakar.

Pinokio mau api. Ia mendamba api. Bisakah kau mendorongnya ke neraka?

Orang baik pasti masuk surga. Bagaimana jika orang baik berubah jadi jahat? Kemanakah ia akan berlabuh? Saat ini saja dunia sudah terasa seperti neraka (menerka-nerka), panas, banyak kejahatan, kemiskinan, kesakitan, penderitaan, kesedihan. Hanya masalah hembusan nyawa, hal itu akan menjadi abadi. Jadi jika bersabar sedikit untuk menderita dalam kebaikan, niscaya kebahagiaan abadi bisa didapat. Setidaknya itu lah yang bisa diyakini dan dijadikan pengharapan.

Oke. Ini semua jelas, tidak usah ke neraka. Tapi bagaimana dengan harapan?

Layaknya kicauan burung di pagi hari dan harum tanah yang basah sehabis hujan. Sejujurnya, membuat perasaan jauh lebih tenang. Di kala merasa diri bagaikan aliran air yang tenang, semua terasa damai sejahtera. Tidak ada rasa dendam untuk masa lalu. Semua terkubur sebagai memori. Bernafas lega, hingga memori mengetuk pintu hari ini. Semua rasa tentang dia, semua garis kasar di usia belasan, semua cerita hidup yang tidak cukup berkuantitas dan tidak cukup berkualitas naik ke permukaan. Semua bersatu menjadi neraka. Lucunya, neraka yang memberi harapan. Harapan akan jawaban dari ketidakpastian di masa lalu.

Jawaban itu harus lengkap. Seperti di ujian dulu, semua detail poin harus dijabarkan. Dengan begitu baru bisa mendapatkan nilai penuh. Seratus.

Sepuluh dari seratus persen. Itu lah yang baru terungkap, ketika ketakutan menjalar. Tau konsep trauma? Kira-kira itulah yang bisa terjadi ketika manusia merasakan kejadian buruk dalam hidup di masa yang lalu yang tidak beres yang belum selesai yang masih membekas yang tidak ia sentuh-sentuh setelah sekian lama –misalnya, 3 tahun. Terdapat sebuah keharusan tidak tertulis untuk menyelesaikannya. Ketika momen itu datang, ia akan berkata : stop.

Rambu lalu lintas S dicoret adalah dilarang stop.

Jadilah jawaban itu akan dilanjutkan. Nanti. Nanti adalah bukan sekarang. Sekarang biarkan hidup berjalan dengan dinamika apa adanya. Menolak menadikan masa lalu batu sandungan untuk masa kini. Simpan saja untuk nanti. Nanti adalah ketika kita bisa duduk bersama, menertawakan hari kemarin dan hari ini. Nanti adalah si belasan tahun yang sudah bukan belasan tahun lagi terterpa si angin nakal yang kebetulan semilir mengusap rambutnya. Tunggu aku di nanti ya.

Kamis, 03 September 2009

Pesakitan, Alien dan Muda


Kesendirian lagi-lagi mempecundangi dirinya. Membuatnya terpaksa melihat bayangan dirinya yang terdalam. Membuatnya tidak bisa menghindar dari pikiran-pikirannya. Ia tahu, ia selalu bersembunyi dari pikiran-pikiran itu. Sebenarnya, ia terbiasa menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri. Pahlawan yang menguasai dan selalu berhasil menyelamatkan dirinya. Ia telah berhasil bermain petak umpet dan lebih sering menang melawan pikiran-pikiran terdalamnya. Tapi kali ini, pikirannya berhasil menelenjangi dirnya. Ia kalah, ia telanjang, wajar jika ia malu. Hah! Tetapi layaknya bayi, ia tidak malu, ia hanya berteriak menangis dan jejeritan sesukanya saja.

Jadi di sanalah ia terduduk, sesudah habis tenaganya meratapi dirinya atau lebih tepatnya pikirannya, atau mungkin telanjangnya? Selalu begitu, bersenang-senang menikmati kesedihannya. Bisa dibilang ia sakit, ia menikmati pedih dan perih. Ia bermain-main dengan luka. Mengoreknya, bukannya menjilati atau memberikan obat. Menggaruknya hingga bernanah dan meninggalkan bekas. Oh, bahkan sebelum meninggalkan bekas ia akan terus bermain dengan lukanya sampai puas, walau ia tidak pernah puas. Ia pesakitan.

Di sana ia tetap terduduk. Menatap cermin, melihat refleksi dirinya yang fana. Bagian dirinya yang itu bukan merupakan bagian favoritnya. Ia merasa kebanyakan, biasa saja. Tapi ia merasa tak perlu komplen. Lagipula bukan masalah fisik yang ia permasalahkan, ia sudah melewati fase yang itu. Ini fase yang lain, waktunya isu lain yang ia karyakan (tepatnya permasalahkan). Ia berpikir, aku dapat merasakannya.

“Anjing lo. Mau lo apa, hah?” ia meneriaki kaca. Suka sekali ia bertindak bodoh, kali ini meneriaki kaca, hahahaha. Ini lah yang ku sukai dari mengamati dirinya. Begitu banyak dinamika, meski kebanyak emosi negatif yang bertumpahan, berdesakan beleber berlomba ingin segera keluar. Ia tidak tahu, tapi aku tahu dan yang pasti itu menghiburku. Sebentar lagi ia pasti akan berkarya lagi.

Nah, benar tebakkanku! Ia kembali berteriak-teriak, tapi kali ini sambil meloncat-loncat. Lalu ia tersungkur dan bergumam pada dirinya sendiri. Kelu kesah tentang sakit karena selalu terkungkung dan menginginkan kebebasan. Oh, dia selalu tidak tahu apa yang ia inginkan kecuali kebebasan, sinar matahari dan bunga kecil yang disematkan di telinganya. Itu saja dan ia akan puas. Ia percaya akan hal itu. Tapi rumitnya jadi dirinya, ia terlalu sering menggunakan penggambaran, perumpamaan atas apa yang ia ingini. Jadilah ia terkatung-katung bingung sendiri. Dalam bahasaku, ia berlari di tempat, sampai kecapekan, terjatuh dan tertimpa duren. Lengkap!

Ia kemudian mengambil buku hariannya dan menulis. Ku perhatikan dengan seksama tulisan-tulisannya. Ia mengutuki semua orang brengsek yang pernah masuk ke dalam hidupnya. Semua yang pernah menyakitinya, semua yang tidak memperhatikan dirinya, semua yang mengabaikannya, semua yang memandang rendah dirinya, semua yang menghujatnya, semua yang menggunjingkannya di belakangnya, semua yang membuatnya merasa jengah, semua yang bersikap bermusuhan dengannya, semua yang selalu merampas energi positif dan kepercayaan dirinya, tepatnya semua yang telah merubahnya seperti mahkluk ruang angkasa bagi dirinya sendiri. Ia alien.

Ia menuliskan nama-nama, yang tidak etis bila kujabarkan satu per satu. Ah, buat apa? Ia seperti kesetanan, mengutuki tiap nama. Tulisan-tulisannya berteriak tentang karma. Aku sedikit bergidik, tapi tertawa lagi, hahaha. Ia segera mencoret bagian kutuk dan karma. Begitulah ia, memang sedikit kejam namun selalu menyesali kekejamannya. Ia sangat kontradiktif dan rumit. Ia kemudian ling lung (bukan ia bukan lang ling lung sang ilmuwan kota bebek). Ia sadar seharian di satu tempat tanpa kesibukan seperti ini membuatnya gila. Ia terbiasa sibuk. Ia selalu sibuk. Ia cinta sibuk. Ia mendamba sibuk. Sibuk membuat pikirannya berjalan sesuai dengan apa yang dimauinya.

Begitulah, tapi kali ini ia tidak sibuk. Ia merasa neraka. Ia tidak bisa berkuasa atas dirinya dan tidak bisa menjadi pahlawan bagi dirinya. Pikirannya melompat ke sana ke mari. Tanpa ada satu pun yang ia sukai. Sesaat ia berteriak-teriak minta kebebasan, tanpa tau kebebasan macam apa. Kemudian pikirannya mulai menyajikan potongan-potongan kebencian yang telah ia buang jauh-jauh selama ini, tapi ternyata tidak terlalu jauh rupanya. Lagi, pikirannya berpindah ke kesibukan tercintanya.

Hahahahaha. Aku tahu ia bohong. Ia tidak sebegitu cintanya dengan si sibuk. Ia yang dulu cuma robot biasa. Ia melakukan apa yang harusnya dilakukan. Ia menuruti aturan. Ia patuh terhadap hukum dan takut kepada hukuman. Ia kaku dan bergerak seperti robot, tapi kadar keanehan cara jalannya lebih tinggi dari robot pada umumnya. Boro-boro menikmati kesibukan. Rutinitas standar yang ada saja dilakukannya dengan asal-asalan. Sekedarnya, tidak ada hasrat dan gairah. Namun sekarang, ia sok sibuk. Sibuk adalah tamengnya, senjatanya, sahabatnya sekaligus nama tengahnya.

Kemudian ku lihat lagi, ia mulai membuat daftar panjang. Apa lagi tingkah aneh si pahlawan yang satu ini untuk menyelamatkan dirinya? Oh, ia membuat daftar kegiatan baru yang menantang. Ia ingin mencoba banyak hal baru. Menikmati masa muda katanya. Tapi dalam kacamataku ia hanya ingin sibuk-sibuk saja. Sesaat, matanya berpendar-pendar bagaikan lampu puncak pohon natal.

Ia menuliskan fotografi di nomor pertama, ia selalu ingin hunting. Ia merasa ia tidak terlalu pandai dalam dunia fotografi, yang ia tahu ia bernapas pendek dan ingin sesuatu tercipta sesaat. Ia lanjutkan dengan menyetir. Huh, ini pasti masih ada sangkut pautnya dengan isu kebebasan, dasar! Di nomor tiga, ia menuliskan single but not available. Dasar, sindrom orang baru putus, beginilah jadinya ia tertawa miris membayangkan dirinya dengan status barunya tersebut. Begitulah daftar itu berlanjut, tersebut-sebut tentang piano, paduan suara, tim bulletin Gereja, basket, magang, project21, modul training, teater, diet, bahasa inggris, bahasa jerman, dan pada daftar terakhir ia menulis travelling keliling dunia (aku refleks bernyanyi, “tak perlu lahhhhhhh aku keliling duniaaaaaa” by: gitgut). Ia benar, ia belum matang. Ia muda.

Begitu banyak hal yang ia ingin eksplorasi atas nama ”muda”. Apa lah itu alasannya, aku turut bahagia kalau ia bahagia. Begitu besar energinya untuk menjalankan rencana-rencananya. Heran aku, ada ya orang yang gemar membuat perencanaan seperti dirinya. Ia dan rencana-rencanya serta dahaganya akan pengalaman. Ia seperti orang kehausan di tengah gurun pasir yang sedang badai. Bukannya menyelamatkan diri dari badai, ia malah tetap mecari oase untuk memuaskan dahaganya. Entah pengalaman macam apa yang sebenarnya dicarinya, atau tepatnya entah pengalaman macam apa yang sebenarnya dibutuhkannya.

Kelelahan tiba-tiba menyerang dirinya, ia menggeletakan dirinya di peraduannya dan tertidur dengan lelapnya. Seraya ia bermimpi, aku menyelami dirinya. Begitu banyak hal yang ia pikirkan. Mungkin seharusnya akan lebih baik bila ia memencet tombol pause dalam hidupnya untuk berhenti sesaat. Bukan, bukan melalukan refleksi tolol yang tercipta dari pikiran-pikiran yang dianggapnya terdalam dan ia selalu hindari. Tapi untuk menikmati hidup dan pastinya ia wajib berterimakasih atas segala hal baik yang ada dalam hidupnya. Cukup lah dengan kesakitan, kemarahan dan ketidakpuasannya. Jalani itu nanti lagi dalam realita hidupnya.

Ia seharusnya memberikan waktu pause sesaat untuk dirinya. Ia egois dan terlalu sering asik sendiri berperan sebagai pahlawan bagi dirinya. Ia lupa bahwa disekelilingnya banyak terdapat pahlawan sejati yang sekali, sesekali, beberapa kali, sering kali atau pun kerap kali muncul pada hidup dimana ia menjadi aktor utamanya. Ia menganggap para pahlawan itu sebagai figuran, peran yang memang seharusnya ada. Tapi ia salah besar, para pahlawan sejati tersebut tidak wajib dan tidak berkepentingan apa-apa untuk hadir di hidupnya sebagai figuran. Para pahlawan sejati itu adalah aktor utama di hidup mereka masing-masing.

Ia seharusnya menyadari betapa beruntungnya dirinya, karena masih ada pahlawan sejati yang sekali, sesekali, beberapa kali, sering kali atau pun kerap kali muncul untuk mewaraskan kembali dirinya. Membuat dirinya merasa kelegaan akan kesembuhan, penerimaan apa adanya dan kepuasaan akan hari-harinya. Ia telalu cynical untuk memandang segala hal dari sisi yang berbeda. Sisi yang tidak pernah ia sadari ada, paling tidak sampai saat ini.

Aku menghembuskan nafas lega, ketika ia terbangun dan menyadari keberadaanku. Memang tinggal menunggu waktu hingga ia menyadari bahwa aku ada. Hari ini ia menginjak umur 21 tahun. Umur yang penting menurut pemaknaan dangkal dirinya, namun tak apalah apabila kedangkalan tersebut dapat menciptakan keajaiban kecil: membuatku tidak lagi kasat mata baginya.

Kini ketika nafasnya dan nafasku sudah bersatu seiringan, aku dan dirinya ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya bagi para pahlawan sejati kami. Mereka yang sekali, sesekali, beberapa kali, sering kali dan kerap kali ada bagi kami. Juga mereka yang akan datang di masa-masa hidup kami selanjutnya. Hanya kepada merekalah ia dan aku, kami yang adalah satu berani megungkapkan sedikit dinamika diri yang sedang bergejolak. Dengan hati yang tulus, aku dan dirinya berdoa semoga para pahlawan sejati tetap di tempatnya, tidak pergi kemana-mana. Tetap menjadi inspirasi dari para pengagumnya.


-ia dan aku, para pengagum pahlawan sejati-


Tulisan ini dibuat tanggal 5 Maret 2009,

tapi baru hari ini gue berani post..

Cause it’s personal and it takes time to make myself do this

Oh whatever.. gue BUTUH bilang ini ke kalian : "I love you!"