Rabu, 03 Maret 2010

Mendengar Luka

Pernah mendapati beberapa hiasan di bagian-bagian tubuh? Misalnya hiasan warna biru di paha yang bisa disebut memar atau hiasan garis di lengan bawah yang bisa disebut goresan. Lebam, memar, goresan, sebut saja luka. Luka itu muncul dengan tiba-tiba, tanpa pernah tahu kapan datangnya. Kemudian ketika kita berusaha mengingat darimana datangnya luka itu, hanya lupa yang ada. Kalau bukan lupa, yah hanya bisa berandai-andai. Oh mungkin tidak sengaja menabrak kursi. Oh mungkin terlalu keras berolahraga. Oh mungkin tercakar anjing dan serangkaian “Oh” yang lain.

Luka disertai lupa itu tidak begitu penting. Toh tidak begitu sakit. Toh tidak tahu kapan munculnya. Luka yang disertai ingat baru lah penting. Mengapa penting? Karena luka macam itu memberikan pelajaran. Berbeda dengan luka yang disertai lupa, hanya menjadi hiasan. Sedangkan luka yang disertai ingat tidak memudar begitu saja. Pudar di kulit tapi tak pudar diingatan. Pantas dipantaskan dan pantas untuk diingat.

Luka dengan ingatan itu berbagai macam dan rupa. Kerap kali di dahului dengan tindakan. Entah diri kita menjadi pelaku atau yang dilaku. Misalnya kita melakukan kecerobohan hingga jatuh tersandung, timbulah luka memar di lutut. Hal ini mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati ketika berjalan. Walaupun memang ada orang-orang yang memiliki keseimbangan yang kurang baik dan selalu terjatuh, tetap saja luka itu ada di sana.

Lain lagi dengan luka yang memang sengaja kita buat. Luka di tangan misalnya, ketika seseorang mengiris pergelangan tangan untuk mengakhiri hidupnya. Entah karena kecewa terhadap hidup atau sekedar bereksperimen. Tapi luka macam ini jelas sengaja diciptakan di tubuhnya sendiri. Beruntung apabila si pelaku masih punya kesempatan belajar dari luka tersebut. Masih hidup dan masih bisa belajar. Jika tidak, luka tersebut menjadi luka terakhirnya dan di saat itu tidak ada mahkluk hidup yang benar-benar tahu apa dia bisa belajar dari luka itu. Hmm, pengecualian tampaknya.

Luka lain, luka yang diciptakan karena dilaku. Menjadi objek, atau lebih parah korban. Sebut saja, dipukul, ditonjok, ditendang, dicubit, ditampar, digaruk, dilempar, didorong, dijambak, di di di di di dan di di di yang lain. Kekerasan. Luka semacam ini biasanya diiringi dengan kesakitan, kesedihan, kekesalan, kemarahan, kekecewaan, dan ke ke ke yang lain. Tak salah karena ini realita hidup. Benar memang pernah terjadi, masih terjadi dan akan terjadi entah dimana dan bisa dialami oleh siapa saja. Luka macam ini ekspresif, terpapar dan kasat mata. Apa yang bisa dipelajari? Personal dan unik, tergantung dari bagaimana seseorang dilaku. Mungkin karena ia memancing kemarahan orang lain, sehingga ia mendapat luka. Jika karena itu, ia harus belajar untuk berhati-hati menghadapi manusia yang mudah marah/melaku dan sayangnya lebih kuat dari dirinya. Mungkin juga karena ia melukai terlebih dahulu hingga ia dilukai kemudian. Ah, ini terlalu malas untuk dibahas, yang jelas ia harus bisa menahan diri atau paling tidak pilih-pilih orang.

Luka-luka yang dijelaskan di atas semuanya adalah luka yang berteriak. Ada yang teriakannya kencang. Ada yang teriakannya ala kadarnya. Ada yang teriakannya lemah. Tapi luka yang paling perih justru adalah luka yang hening.

Keheningan luka itu mencekam. Entah seseorang sadar ketika mendapatinya atau tidak sadar hingga tiba-tiba mendapati luka tersebut. Luka yang hening itu tidak teriak. Luka yang hening itu tidak kasat mata. Luka yang hening itu hanya bisa dimaknai oleh tiap pribadi. Luka yang hening itu bisa merubah pandangan seseorang tentang hidup. Betapa dasyatnya luka yang hening itu.

Sebut saja, anak muda yang baru patah hati, dikhianati kekasih. Jangan anggap remeh, apabila dimaknai secara mendalam bisa saja menimbulkan luka hening yang akan selalu diingat seumur hidupnya. Setiap orang pasti akan, sedang atau pernah melewati masa muda bukan? Lain halnya dengan seseorang yang ditinggalkan untuk selamanya oleh figur yang sangat penting dalam hidupnya. Luka yang hening tergambar secara abstrak dalam kepedihan mendalam yang ia teriakkan dan tangisi. Tapi hanya dirinya lah yang paling tau, paling merasa, paling luka. Ada lagi korban bencana alam, secara kasat mata fisiknya terluka tapi luka heningnya lah yang membuat dia terguncang. Guncangan yang sangat hebat yang bisa membuat jiwanya terganggu. Luka hening yang dialami oleh massa tapi tetap berbeda-beda satu sama lain. Kesemua luka hening tersebut didapati dari sebuah pengalaman pahit.

Seperti apa rupa dari luka yang hening itu? Tidak ada yang benar-benar tahu. Ya, karena keheningannya lah ia menjadi misterius. Bila dicoba untuk didefinisikan, malah terjebak di dalamnya. Luka yang hening bisa membuat seseorang mengeluarkan air mata kepedihan. Luka yang hening bisa membuat seseorang hancur hati. Luka yang hening bisa membuat seseorang kehilangan makna hinggga kemudian mendapati makna.

Cobalah korek luka yang hening dari seseorang. Berat, sulit dan membutuhkan tingkat kepekaan yang tinggi kalau tidak ingin ditampar atau diludahi. Luka hening sendiri saja tidak mau dikorek orang kan? Begitu pula dengan orang lain. Lagipula untuk apa mengorek luka yang hening dari orang lain? Kalau dipikir-pikir, sebaiknya seseorang menikmati luka heningnya masing-masing. Korek saja luka heningmu sendiri hingga puas.

Tapi, akan selalu ada tapi. Biar saja bila ini disebut pembenaran, tapi tingkat keheningan luka seseorang yang berbeda-beda itulah yang membuat pengalaman hidup seseorang berbeda-beda. Apabila sesama manusia sudah saling tidak peduli dan apatis, hingga ia yang paling berpengalaman dengan luka tidak mau berbagi cerita tentang lukanya dan membiarkan lukanya dikorek, apa yang akan terjadi? Dunia bukan cuma dipenuhi luka, tapi juga borok. Borok karena tidak mau saling berbagi perih dan membuatnya lebih ringan.

Tapi, lagi-lagi tapi, siapalah yang berhak mengatur? Siapalah yang memiliki kapasitas untuk meminta orang lain berbagi luka dengan sesama? Jadi bila kita mendapati diri kita memperoleh kesempatan untuk mendengarkan luka yang hening dari orang lain, pakailah perasaan dan empati. Tidak mudah membiarkan orang lain masuk ke dalam cerita hidup paling pribadi dan berbagi luka yang hening. Berikan lah telinga dan hati untuk mendengar luka.

5 komentar:

  1. hahaha...teruskan...menarik sekali menggali pengalaman, cerita melalui sudut pandang yang unik ditambah dengan bumbu kaidah penulisan yang indah namun tajam, mudah dimengerti sekaligus menyiratkan banyak arti.

    BalasHapus
  2. "Luka yang hening"
    Jujur baru kali ini saya temukan istilah luka yang hening, biasanya kata yang lebih sering untuk menggambarkan itu adalah rasa yang dipendam atau sesuatu yang dipendam, atau mungkin ada diksi yang lain yang lebih tepat mengilustrasikan Luka yang hening tersebut? Sepertinya sih ada
    Hmmm.........

    BalasHapus
  3. dikhianti dan rasa tidak dicintai.

    BalasHapus
  4. pergi tanpa berpaling

    BalasHapus
  5. Penyajian yang Woukeee!!!. Luka "hening",punya dimensi dalam,sepi,gelap dan privasi.Luka hening dalam batin yang akan memiliki makna terjangkau,rame,bersinar dan berkat bersama,jika mau dan bisa di"share" dgn Org yang mau mendengar dgn telinga dan hatinya.Namun seringkali,kt mendengar apa-apa yang mau kita dengar saja.He3x,Caphek dheee....

    BalasHapus